JAKARTA(DNC)-Sistem pengupahan di bawah Undang-Undang Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja dikhawatirkan akan membuka ruang liberalisasi upah minimum yang bisa berdampak pada kesejahteraan pekerja pemula. Ketentuan baru pun dianggap belum menyoroti masalah upah di bawah standar yang masih serih ditemui. Dalam aturan pelaksana yang tertuang dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengupahan yang akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015 tentang Pengupahan, pemerintah mengubah sejumlah ketentuan terkait dasar penghitungan upah minimum.
Pasal 25 dalam RPP menyebutkan upah minimum dibagi menjadi dua jenis yakni upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK) dengan syarat tertentu.
UMP ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan, sedangkan upah minimum kota/kabupaten ditentukan berdasarkan pertumbuhan ekonomi atau inflasi kota/kabupaten yang bersangkutan.
Adapun, kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan yang dimaksud mengacu pada variabel paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah yang datanya bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Penyesuaian atau perubahan upah minimum sendiri dilakukan setiap tahun dengan mengacu pada rentang nilai tertentu di antara batas atas dan batas bawah upah minimum wilayah bersangkutan. Batas atas dihitung berdasarkan rata-rata konsumsi per kapita dikalikan rata-rata banyaknya rumah tangga dibagi rata-rata anggota rumah tangga yang bekerja pada setiap rumah tangga.
Sementara itu, batas bawah upah minimum merupakan nilai acuan upah minimum terendah yang dihitung dari 50 persen hasil penghitungan batas atas upah minimum.
Acuan baru upah minimum yang berdasarkan pada paritas daya beli, penyerapan tenaga kerja, dan median upah erat kaitannya dengan kondisi ketersediaan lapangan kerja dan pencari kerja. Semakin sedikit lapangan kerja dan semakin banyak pencari kerja maka upah akan turun. Keadaan itu akan membuat pekerja tidak memiliki daya tawar dalam menentukan upah minimum.
Sumber : SPNnews / Editor : Erwin komeng