Zainal Arifin Pimprus LPC dan RPC, Nimbrung Bicara “Penyimpangan Dana CSR, Bisa Pidana Loo…”

Selasa, 31 Agustus 2021

Dirganusantara.com-Dumai– Akhir-akhir ini masyarakat Dumai hangat-hangatnya membicarakan yang namamya CSR (Corporate Sosial Responsibility) atau Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL). Bahkan sebahagian menjadikan perdebatan sehingga terjadi pro kontra, dan hal ini dipicu oleh pembangunan Dumai lslamic Centre (DIC). Karena dananya dicanangkan dari dana CSR perusahaan yang beraktivitas di Dumai, bahkan Groundbreaking telahpun di lakukan beberapa waktu lalu.

Perdebatan terjadi sekarang seakan-akan ada dua kubu bertentangan, satu mendukung dan satunya lagi seperti menolak pendirian DIC, sebenarnya jika di cermati dan dianalisa secara seksama tidak ada pertentangan pendirian DIC tersebut. Yang ada hanya mempertanyakan jika pembangunan DlC mengunakan dana CSR bagaimana Mekanisme, Regulasi, Payung Hukum serta Teknisnya. Apakah itu dari Pengangaran, Pengutipan, Pemakaian, Pertanggungjawaban bahkan sampai pada tahap Pengawasan dana CSR itu sendiri.

Jangan sampai ketika pembangunan berjalan terjadi persoalan Hukum dikemudian hari, tentu Masyarakat Dumai tidak menginginkan itu terjadi. Apalagi pembangunan tersebut telah merobohkan satu Masjid bersejarah di Dumai, yakni Masjid Habiburrahman atau sebelumnya bernama Masjid Muslim Pancasila. Karena dibangun oleh Yayasan Amalbhakti Muslim Pancasila (YAMP), dananya dikutip dari sumbangan Korpri (Korp Pegawai Republik lndonesia) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) sekarang, dan Tentara Republik lndonesia (TNI).

Pengunaan dana CSR untuk pembangunan DIC sampai sekarang sepengetahuan penulis sepertinya belum ada kejelasan kongkret ke Publik bagaimana Mekanisme seperti uraian diatas. Selain itu ada satu lagi menjadi pertanyaan, yaitu terkait pengrobohan Masjid Habiburrahman, apakah sudah ada izin pihak Yayasan.

Pada beberapa kesempatan termasuk saat Groundbreaking, selalu dinyatakan bahwa pengrobohan Masjid yang dibangun era Soeharto tersebut sudah ada izin YAMP selaku pendiri. Namun di sampaikan hanya sebatas lisan saja, tidak pernah dilihatkan secara tertulis sehingga timbul tanda tanya dan rasa penasaran, apakah pengrobohan Masjid Habiburrahman berdasarkan lisan saja, tidak ada tertulisnya.

Pertanyaan itu masih berkecamuk, apakah ada atau tidak siapa yang tahu, bahkan penulis sendiri tidak bisa menjawab ketika banyak yang bertanya. Semestinya ada, karena jika bicara Walikota harusnya bicara regulasi dan aturan serta Administrasi, jika memang ada apa salahnya ditunjukkan. Masyarakat tidak akan bertanya-tanya lagi, hal itu sangatlah penting agar keraguan terjawab, keinginan itu sepertinya wajar dan tidak berlebihan karena Walikota adalah pejabat Publik, dan lagi anggaran DIC sangat fantastik.

Bagaimana izin jika sebatas lisan saja, tidak ada pengakuan secara tertulis dan seandainya terjadilah pengingkaran kelak padahal pembongkaran sudah dilakukan apa tidak bermasalah. Itu seharusnya diantisipasi untuk menjaga segala kemungkinan tidak elok terjadi. Namun berharap apa yang di khawatiran tidak terjadi, dan penulis beberapa kali menghubungi pihak Yayasan untuk memastikan apakah izin pengrobohan ada atau tidak namun pesawat telepon tidak diangkat.

Bertolak dari sebuah pemikiran selain uraian diatas penulis menemukan sebuah artikel, kemungkinan bisa menjawab pro kontra pemakaian dana CSR dalam pembangunan DIC di Masyarakat. Serta hendaknya dapat dijadikan sebuah reverensi bagi kita semua, agar dikemudian hari tidak terjadi persoalan Hukum. Terpulang bagi siapapun, bebas menyikapi dan menterjemahkan isi Artikel sesuai pemikiran masing-masing. Karena tidak ada paksaan harus menterjemahkan sesuai keinginan penulis Artikelnya.

Artikel yang ditulis oleh Dr Mukti Fajar ND, Dosen Fakultas Hukum dan Kepala LP3M UMY, yang terbit 23 Mei 2013 di Lingkar LSM berjudul “Penyimpangan Dana CSR” sebagaimana nanti, tanpa mengurangi atau menambah Narasi. Semoga dapat menambah wawasan kita terkait CSR, tentu sesuai representasi berdasarkan fakta dan bukan opini bagi siapapun pembacanya, seperti uraian dibawah ini.

Orang Indonesia sepertinya belum siap mental untuk melihat duit lewat, bahkan dana untuk membantu masyarakat kecil dalam berbagai program Tanggung Jawab Sosial Perusahan (CSR) pun disikat. Inilah yang kemudian memunculkan kasus korupsi dana CSR (Corporate Social Responsibility). Dana yang berasal dari perusahaan yang seharusnya diperuntukan bagi pemberdayaan masyarakat, justru disunat dan dibagi sana sini sesuka hati.

Kasus terakhir adalah penyimpangan dana CSR dari PT Aneka Tambang (Antam) yang menyeret Petinggi Universitas Jend. Sudirman sebagai pihak pelaksana program. Sebelumnya beberapa oknum Pemkot Palembang juga digelandang ke pengadilan karena diduga memotong dana CSR dari PT Pusri. Selebihnya, masih banyak kemungkinan dana CSR dari perusahan perusahaan yang jumlahnya triliunan rupiah ini telah mengalir tidak tepat sasaran, kasus-kasus terpendam ini sebentar lagi akan banyak diungkap.

Pertanyaannya menjadi banyak: apakah kesalahan penggunaan dana CSR itu tindak pidana korupsi?, Apa saja komponen biaya dalam penggunaan dana CSR yang diperbolehkan? Siapa yang berhak mengalokasikan dan mengawasi dana CSR tersebut? Adakah lembaga khusus yang punya otoritas tentang program CSR  dan seterusnya.

Program CSR yang secara konseptual diharapkan adanya kepedulian dari perusahaan untuk ikut serta mengatasi persoalan sosial, akhirnya justru banyak menimbulkan persoalan. Pertama, sejak kelahirannya, isu mengenai kewajiban CSR di Indonesia telah membawa masalah.

Kewajiban melaksanakan CSR bagi perusahaan perusahaan yang diatur dalam UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) dan UU No 40 Tahun 2007 (UUPT) tentang Perseroan Terbatas tidak bisa diterapkan secara sederhana. Belum lagi klausula tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang diatur dalam UU No 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) yang secara substantif sama dengan Program CSR.

Mengenai besaran biayanya, dalam UUPM tidak disebutkan secara jelas jumlah dan sumbernya, dalam UUPT  dana CSR wajib dianggarkan berdasarkan kepatutan dan kewajaran. Sedangkan dalam  UUBUMN yang dijelaskan melalui Peraturan Menteri Negara BUMN No Per-05/MBU/2007 (Per.Men PKBL) mengatur dana PKBL sebesar 4% keuntungan bersih.

Kesimpangsiuran aturan tersebut sangat potensial melahirkan konflik maupun untuk disalahgunakan, saat ini masih banyak perusahan yang bingung dalam menentukan besaran dana CSR. Akhirnya, perusahaan hanya mengira-gira saja, kepatutan dan kewajaran yang dijadikan dasar adalah dari kebiasaan praktik sebelumnya.

Khusus bagi PT BUMN hal ini juga masalah berat, karena secara norma akuntasi, dana PKBL yang bersumber dari keuntungan tidak sama dengan dana CSR yang bersumber dari anggaran, walaupun substansi praktiknya sama yaitu pemberdayaan masyarakat. Dalam pertemuan dengan beberapa PT BUMN mereka tetap melaksanakan keduanya dalam mekanisme yang berbeda. Tentunya dengan keluhan yang panjang, CSR akhinya menjadi beban biaya dan tambahan pekerjaan bagi mereka.

Kedua, dalam pelaksanaan program CSR, tentunya dibutuhkan biaya operasional yang harus disediakan, UUPM dan UUPT tidak mengatur biaya operasional dengan jelas. Sedangkan Per.Men PKBL, telah jelas menyebutkan, bahwa untuk program kemitraan yang bersifat pelatihan dan pendampingan maksimal dana operasionalnya 20%.

Sedangkan untuk Bina Lingkungan yang sifatnya donasi, besarnya 5% untuk biaya operasional, tetapi berapa besar biaya operasional untuk CSR tidak ada aturan yang baku. Oleh karena itu, sebaiknya pelaksanaan program CSR, baik yang dilakukan oleh perusahaan sendiri atau bekerjasama dengan pihak ketiga (bisa saja Perguruan Tinggi atau LSM) besarnya mengacu Per.Men PKBL.

Yang perlu dicatat dengan tinta merah bahwa:

(1) Dana CSR tidak boleh dipungut atau dikelola pemerintah, karena pada prinsipnya ini adalah dana perusahaan untuk masyarakat, pemerintah tidak punya dasar untuk pelaporan pertanggungjawaban dana CSR. Pemerintah hanya boleh mengarahkan program CSR agar bersinergi dengan program pemerintah

(2) Penggunaan dana CSR selain untuk program dan biaya operasional bisa dikategorikan tindak pidana, karena mengambil hak milik masyarakat. Jika itu dilakukan oleh/untuk pejabat pemerintah, maka masuk kategori korupsi.

Kesimpulannya ketika ada Justifikasi terhadap orang perorang atau kelompok tertentu bahwa mereka menolak Pembangunan DIC sebuah pemikiran keliru dan tidak mendasar. Pada uraian diatas disebutkan bahwa tidak ada penolakan yang ada hanyalah sosial kontrol terhadap kebijakan terutama berkaitan Regulasi dan Tekhnis, agar tidak terjadi persoalan Hukum kemudian hari. Sepertinya stigma Negatif memang diarahkan kepada oknum-oknum tertentu, seakan-akan mereka menolak Pembangunan DIC, keliru Bung jauhkan pemikiran picik tersebut.***